pelatihan manasik Haji

SMAN 1 Muara Teweh

UM PALANGKARAYA

pelantikan Rektor

PPL II

SDN 10 Langkai

ganteng

saudaraku

Bakso Patria

Muara Teweh Barito utara

Kuda Lumping

Wonorejo Muara Teweh

Sabtu, 03 November 2012

Palangkaraya: Ambisi Soekarno, Sejarah yang terlupakan


…. Jadikanlah Kota Palangka Raya sebagai Modal dan Model…

“ Jangan Membangun Bangunan Di sepanjang Tepi Sungai Kahayan
Dan Lahan di Sepanjang Tepi Sungai tersebut, hendaknya diperuntukkan bagi taman sehingga pada malam yang terlihat hanyalah kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut..”

(Soekarno, 1957)

Menatap Jembatan Kahayan
Menatap Jembatan Kahayan
Setelah membaca tuntas buku karya Wijanarka dalam “Sukarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya”, saya sangat terkesima membayangkan betapa mimpi Ir. Sukarno pasca kemerdekaan RI dalam merancang calon ibu kota negara di kota cantik Palangkaraya ini. Siapa yang bisa membayangkan betapa kota yang sangat sepi, minim fasilitas dan langka energi listrik ini adalah bekas kota ambisi presiden pertama RI sebagai Ibukota Negara. Ini yang sempat terbesit dalam pertanyaan saya mengapa Palangkaraya menjadi ibukota Provinsi, padahal secara geografis umumnya ibukota selalu berada di daerah pesisir. Kondisi ini sangat mungkin karena sebelumnya kota tersebut sudah dirancang sebagai ibukota RI meski akhirnya berakhir sebagai ibukota Provinsi.

Kota Palangkaraya secara geografis terletak pada 6⁰40’ – 7⁰20’ Bujur Timur dan 1⁰31’ – 2⁰30’ Lintang Selatan. Saat ini secara administratif berbatasan dengan Kabupaten Gunung Mas pada sisi utara dan timur, kabupaten Pulang Pisau pada sisi selatan dan Kabupaten Katingan pada sisi barat. Kota Palangkaraya mulai dibangun dengan ditandai adanya pemancangan tiang pertama pembangunan kota oleh Presiden RI pertama pada tanggal 17 Juli 1957.
Sepertinya Palangkaraya dan Kalimantan Tengah memiliki ikatan batin yang kuat dengan Soekarno.  Dalam buku Wijanarka (2006), pada tahun 1957, beliau pernah berkunjung bersama rombongan (40 orang) yang terdiri dari dua orang duta besar, menteri-menteri, dan pegawai istana. Lokasi pemancangan tiang pancang yang saat terletak diseberang gedung DPRD disyahkan oleh presiden pertama kita kala itu. Menurut Tjilik Riwut, pada bagian akhir pidato Gubernur Milono yang memimpin pada saat itu menyatakan dua keistimewaan Palangkaraya:
Pertama: Pada symbol angka 17 dimana Provinsi Kalimantan Tengah merupakan propinsi ke-17, dilahirkan oleh Kabinet Karya, Kabinet ke-17 dan Pahandut kampong ke-17 dari Kuala Kapuas Ibu Kota Kabupaten Kapuas, dan kampong yang ke-17 dari Muara Sungai Kahayan.

Kedua: Lahirlah provinsi Kalimantan Tengah bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Paskah. Karenanya, kata beliau tetap peliharalah kesucian dan kemuliaan tersebut seterusnya dan janganlah nantinya menjadi tempat perebutan pangkat dan kursi.
Sangat tidak mengherankan bagi seorang Sukarno, lulusan insinyur tentu memiliki ambisi tersendiri untuk menjadikan suatu kota dirancang oleh buah pikiran putra bangsa. Setelah melihat Jakarta yang sudah terbentuk dalam desain kolonial, maka beliau mencoba untuk mendesain sendiri ibukota yang ada dalam angan-angannya. Dua tahun (sejak 1957-1959) kota ini dibangun melalui rancangan pikiran Ir. Sukarno, mulai dari bundaran besar, taman kota, tiang pancang, istana, bundaran kecil, dll.
tugu
Tugu Tiang Pancang yang diresmikan oleh Soekarno
Jika kita berjalan-jalan dan mengamati kota Palangkaraya, sangat tampak bahwa kota ini sudah memiliki rencana desain sebelum penduduk bermukim, dilihat dari luas jalan yang lebar, disamping kanan dan kiri jalan terdapat taman dan jalan pedestrian, taman di antara ruas jalan, dan bundaran. Ditambah lagi jumlah penduduk yang tidak padat membuat sangat nyaman berada di kota ini. Hanya sangat disayangkan, menjelang malam kondisi kota menjadi sangat gelap. Cukup ironis, kalimantan mengalami krisis energi di lambung sendiri, sehingga lampu-lampu disepanjang jalan tidak mampu mempercantik kota ini, sayang sekali, keluar dari impian Soekarno saat itu.
Melihat keterkaitan realitas yang terjadi di kota Palangkaraya dengan kaitan sejarah masa lalu, muncul asumsi pribadi saya dalam mengamati kota ini. Pertama, Jika dikaitkan dengan politik, Kalimantan Tengah merupakan basis PDI Perjuangan, yang dipimpin oleh Megawati yang notabene Putri Alm. Ir. Sukarno. Entah analisis saya ini mengada-ada atau memang tepat, sebagai pendatang cukup mengherankan mengapa Provinsi dengan 13 Kabupaten & 1 kotamadya memiliki hampir seluruh bupati (kecuali bupati Pulang Pisau) lahir dari partai PDI. Di kota ini pula terdapat kantor PDI yang begitu megah dan telah diresmikan oleh Ibu Megawati beberapa minggu lalu sebagai kantor terbesar di seluruh Indonesia. Apalagi yang tidak mengherankan selain sebuah ikatan batin yang kuat antara Sukarno dan orang-orang di Kalimantan Tengah. Kedua, Saya merasa sangat terheran dengan kota Palangkaraya, tempat dimana heterogenitas keyakinan berbaur dengan cantik dan orang saling menghormati agama satu dengan lainnya. Mungkin benar bahwa doa RT. Milono tentang kelahiran kota Palangkaraya yang bertepatan dengan hari besar dua agama. Kota ini memiliki gereja dimana-mana, demikian pula Masjid dan Pura, semakin mempercantik heterogenitas. Ketiga, mungkin jiwa mental “pegawai” yang dialami warga kota disini karena sudah ter-setting sejak terbentuknya kota ini (tahun 1957) yang kala itu sudah terbangun perkantoran pemerintahan, sehingga setiap orang yang hendak bermukim di kota ini tentu dalam perkembangannya pasti berniat bekerja di kantor pemerintahan.
Cikal bakal kota Palangkaraya adalah Pahandut, yaitu sebuah kampung yang saat ini menjadi kecamatan. Pahandut berasal dari kata Bapa handut (bahasa dayak ngaju), yang artinya ayah Handut. Bapa Handut adalah salah satu penduduk yang membuka hutan belantara untuk dijadikan tempat tinggal sementara yang bernama Kampung Pahandut. Oleh Bapa Handut, daerah tersebut ditandai dengan Pohon Asam yang ditanamkannya dan kini letaknya disekitar dermaga Rambang. Disebelah barat daya dari pohon asam tersebut terdapat danau Seha. Sekarang kampong Pahandut itu berada pada lingkungan wilayah Jl. Kalimantan, Jl. Sulawesi, Jl. Bangka, Jl. Sumatera, dll dimana terhubung Jln. A. Yani menuju pusat Palangkaraya (Wijanarka, 2006). Daerah tua dari kota Palangkaraya ini memang daerah yang padat penduduknya. Di kanan kiri jalan banyak pertokoan dan jika berjalan menelusuri wilayah jalan-jalan bernama pulau-pulau tersebut, tampak danau Seha yang saat ini menjadi komplek danau seha yang sudah tertutupi oleh pemukiman-pemukiman yang lokasinya seperti mangkok yang menjorok jauh kebawah.
Lahan disepanjang Sungai Kahayan telah dibangun pemukiman yang sangat padat, beberapa hari yang lalu, saat menyaksikan perlombaan perahu hias dalam Festival Isen Mulang, saya mengitasi sungai Kahayan diwilayah Pahandut, tempat dimana pertama kali Palangkaraya lahir. Sayangnya wilayah ini semakin padat dan kumuh sepertinya  bertentangan dengan impian Sukarno untuk tidak  membangun bangunan di sepanjang tepi sungai Kahayan dan menjadikan tempat tersebut sebagai taman sehingga pada malam yang terlihat hanyalah kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut.
Mengapa batal menjadi ibukota NKRI?
Menurut sejarah pembangunan kota Jakarta yang resmi menjadi ibukota pada tahun 1964, masterplan pendahuluan Jakarta dibuat tahun 1956 yang mana masterplan ini diilhami ole ide-ide Sukarno dari hasil keliling dunianya ke India, USA, Kanada, Rusia, Italia, Jerman, Swiss, dan Cina. Akan tetapi, karena struktur kota Jakarta telah terbentuk, ide-ide Sukarno tersebut tidak maksimal dapat diimplementasikan (Wijanarka, 2006).
Pada saat itu, masyarakat (Kalimantan Tengah) menginginkan terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah yang mana pada akhirnya rencana Ibukota Kalimantan Tengah (Palangkaraya) menjadi kesempatan emas bagi Sukarno dalam menuangkan ide-idenya. Berdasarkan pengalamannya keliling dunia dan beberapa kota di Indonesia, pada akhirnya desain Kota Palangkaraya yang diciptakannya dipersiapkan juga untuk ibukota RI (Wijanarka, 2006).
Batalnya Palangkaraya menjadi ibukota RI disebabkan oleh sulitnya pengadaan bahan bangunan dan medan yang masih sangat sulit menuju kota Palangkaraya (saat pembangunan tahun 1957-1959), ditambah lagi tiga aspek (Wijanarka, 2006) yaitu:
  1. Keberadaan sejarah kota Jakarta yang sudah terbentuk komposisinya oleh pemerintah colonial akhirnya memaksa Soekarno untuk meneruskan program-program pembangunan seperti Jakarta by Pass, Jalan Tanjung Priok-Cililitan, Jalan Cawang, Lapangan Terbang Kemayoran, Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, Masjid Istiqlal dan Monumen Nasional.
  1. Desakan para duta besar negara sahabat, Mungkin, saat peletakan tiang pancang Kota Palangkaraya, Sukarno juga mempromosikan calon ibukota RI kepada dua duta besar Negara adidaya Rusia (DA Zukov) dan Amerika (Hugh Cumming Jr) yang pada waktu itu oleh Sukarno diajak ke Palangkaraya. Mungkin pula dengan mengalami beratnya medan perjalanan ke Palangkaraya saat itu, dan mungkin adanya hasil evaluasi Sukarno tahun 1959 yang menunjukkan sulitnya pengadaan bahan bangunan dalam proses pembangunan Kota Palangkaraya, kedua duta besar yang saat itu sangat berpengaruh terhadap dunia mendesak Sukarno untuk memilih Jakarta sebagai Ibukota RI.
  1. Agenda RI tentang even-even internasional. Ambisi sukarno yaitu mempromosikan RI keluar negeri seperti Asian Games (1962), Ganefo dan Konferensi Wartawan Asia Afrika, maka dari itu dibangun Gelora Bung Karno, Bundaran HI, dan gedung DPR/MPR.
Palangkaraya cenderung berada pada letak yang berada di tengah-tengah wilayah RI. Dalam sejarahnya, berawal dari pemancangan tiang pancang untuk pembangunan kota, maka Sukarno sudah  membentuk sumbu kota yang berfungsi sebagai prinsip dasar desain kota. Menurut arah mata angin, dari titik tiang pancang, sumbu ini mengarah ke barat daya dan timur laut. Kearah timur laut, sumbu ini berakhir di Sungai Kahayan, sedangkan kea rah barat daya, sumbu ini berakhir di Jakarta. Adanya konsep ini menunjukkan bahwa Palangkaraya termasuk cosmic city, yaitu kota yang mengintrepetasi kepercayaan dan atau daya alam. Kini sumbu tersebut terkoneksi erat antara Sungai Kahayan- Tiang Pancang – Bangunan istana – Yos Sudarso – Jakarta (Wijanarka, 2006).
Cosmic City: seperti Yogyakarta
Saya melihat cosmic city yang ada pada Palangkaraya sungguh unik seperti filosofi kota Yogyakarta. Meskipun tidak sekuat Kraton, namun Soekarno mendesainnya dengan pertimbangan koneksitas kepercayaan/daya alam. Kraton sebagai pancer terbelah oleh sumbu imajiner yang menghubungkan Laut Kidul, Parangkusumo – Panggung Krapyak – Karaton – Tugu Pal Putih dan Gunung Merapi. Garis imajiner dari Parangkusuma di Laut selatan – Karaton Yogyakarta- Gunung Merapi menekankan hubungan antara manusia yang hidup di dunia dimana seorang manusia harus memahami terlebih dahulu hakekat hidup dan kehidupannya sehingga mampu mencapai kesempurnaan hidup.
Gunung Merapi menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa, diyakini sebagai pusat kerajaan mahluk halus, sebagai “swarga pangrantunan”, sama dikaitkan dengan Palangkaraya dimana Sungai Kahayan menduduki posisi yang penting bagi kebudayaan masyarakat dayak. Pada mitologi Gunung Merapi dalam alur perjalanan hidup yang digambarkan dengan sumbu imajiner dan garis spiritual kelanggengan yang menghubungkan Laut Kidul – Panggung krapyak – Karaton –Yogyakarta Tugu Pal Putih – Gunung Kidul. Simbol ini mempunyai makna tentang proses kehidupan manusia mulai dari lahir sampai menghadap kepada sang Maha Pencipta.
Makna Bundaran besar menurut rancangan Sukarno:
Tidak banyak yang memahami dan menyadari bahwa bundaran besar (nama popular saat ini) yang terletak dipusat kota yang dikelilingi oleh Istana Gubernur (lambang pemerintahan), Gedung Batang Garing (lambang bisnis) maupun Palangkaraya Mall (sarana hiburan rakyat). Menurut Wijanarka, Di depan istana, terdapat jalan silang 8 bundaran dengan jari-jari bundarannya 2×45 meter. Konsep desain silang 8 bundaran ini menyimbolkan bulan dan tahun kemerdekaan RI. Delapan jalan silang tersebut memiliki dua makna yaitu menyimbolkan posisi Palangkaraya pada persimpangan delapan rumpun kepulauan RI (Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Irian Jaya), dan delapan sungai besar di Kalimantan Tengah yaitu Barito, Kapuas, Katingan, Mentaya, Seruyan, Kahayan, Arut dan Lamandau.