pelatihan manasik Haji

SMAN 1 Muara Teweh

UM PALANGKARAYA

pelantikan Rektor

PPL II

SDN 10 Langkai

ganteng

saudaraku

Bakso Patria

Muara Teweh Barito utara

Kuda Lumping

Wonorejo Muara Teweh

Kamis, 29 November 2012

Sejarah Singkat Kota Palangka Raya

Terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah melalui proses yang cukup panjang sehingga mencapai puncaknya pada tanggal 23 Mei 1957 dan dikuatkan dengan Undang-Undang Darurat Nomor 10 tahun 1957, yaitu tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah. Sejak saat itu Provinsi Kalimantan Tengah resmi sebagai daerah otonom, sekaligus sebagai hari jadi Provinsi Kalimantan Tengah.
Sedangkan tiang pertama Pembangunan Kota Palangka Raya dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia SOEKARNO pada tanggal 17 Juli 1957 dengan ditandai peresmian Monumen/Tugu Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah di Pahandut yang mempunyai makna:
  1. Angka 17 melambangkan hikmah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
  2. Tugu Api berarti api tak kunjung padam, semangat kemerdekaan dan membangun.
  3. Pilar yang berjumlah 17 berarti senjata untuk berperang.
  4. Segi Lima Bentuk Tugu melambangkan Pancasila mengandung makna Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958 Ibu Kota Provinsi yang dulunya Pahandut berganti nama dengan Palangka Raya.
Sejarah pembentukan Pemerintahan Kota Palangka Raya merupakan bagian integral dari pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957, lembaran Negara Nomor 53 berikut penjelasannya (Tambahan Lembaran Negara Nomor 1284) berlaku mulai tanggal 23 Mei 1957, yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pembentukan Daerah Swatantra Propinsi Kalimantan Tengah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958, Parlemen Republik Indonesia tanggal 11 Mei 1959 mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959, yang menetapkan pembagian Propinsi Kalimantan Tengah dalam 5 (lima) Kabupaten dan Palangka Raya sebagai Ibukotanya. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tanggal 22 Desember 1959 Nomor Des. 52/12/2-206, maka ditetapkanlah pemindahan tempat dan kedudukan Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dari Banjarmasin ke Palangka Raya terhitung tanggal 20 Desember 1959. Selanjutnya, Kecamatan Kahayan Tengah yang berkedudukan di Pahandut secara bertahap mengalami perubahan dengan mendapat tambahan tugas dan fungsinya, antara lain mempersiapkan Kotapraja Palangka Raya. Kahayan Tengah ini dipimpin oleh Asisten Wedana, yang pada waktu itu dijabat oleh J. M. NAHAN.
Peningkatan secara bertahap Kecamatan Kahayan Tengah tersebut, lebih nyata lagi setelah dilantiknya Bapak TJILIK RIWUT sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah pada tanggal 23 Desember 1959 oleh Menteri Dalam Negeri, dan Kecamatan Kahayan Tengah di Pahandut dipindahkan ke Bukit Rawi. Pada tanggal 11 Mei 1960, dibentuk pula Kecamatan Palangka Khusus Persiapan Kotapraja Palangka Raya, yang dipimpin oleh J.M. NAHAN. Selanjutnya sejak tanggal 20 Juni 1962 Kecamatan Palangka Khusus Persiapan Kotapraja Palangka Raya dipimpin oleh W. COENRAD dengan sebutan Kepala Pemerintahan Kotapraja Administratif Palangka Raya.
Perubahan, peningkatan dan pembentukan yang dilaksanakan untuk kelengkapan Kotapraja Administratif Palangka Raya dengan membentuk 3 (tiga) Kecamatan, yaitu:
1. Kecamatan Palangka di Pahandut.
2. Kecamatan Bukit Batu di Tangkiling.
3. Kecamatan Petuk Katimpun di Marang Ngandurung Langit.
Kemudian pada awal tahun 1964, Kecamatan Palangka di Pahandut dipecah menjadi 2 (dua) kecamatan, yaitu:
1. Kecamatan Pahandut di Pahandut.
2. Kecamatan Palangka di Palangka Raya
Sehingga Kotapraja Administratif Palangka Raya telah mempunyai 4 (empat) kecamatan dan 17 (tujuh belas) kampung, yang berarti ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan untuk menjadi satu Kotapraja yang otonom sudah dapat dipenuhi serta dengan disyahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965, Lembaran Negara Nomor 48 tahun 1965 tanggal 12 Juni 1965 yang menetapkan Kotapraja Administratif Palangka Raya, maka terbentuklah Kotapraja Palangka Raya yang Otonom.
Peresmian Kotapraja Palangka Raya menjadi Kotapraja yang Otonom dihadiri oleh Ketua Komisi B DPRGR, Bapak L.S. HANDOKO WIDJOYO, para anggota DPRGR, Pejabat-pejabat Depertemen Dalam Negeri, Deputy Antar Daerah Kalimantan Brigadir Jendral TNI M. PANGGABEAN, Deyahdak II Kalimantan, Utusan-utusan Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan dan beberapa pejabat tinggi Kalimantan Lainnya.
Upacara peresmian berlangsung di Lapangan Bukit Ngalangkang halaman Balai Kota dan sebagai catatan sejarah yang tidak dapat dilupakan sebelum upacara peresmian dilangsungkan pada pukul 08.00 pagi, diadakan demonstrasi penerjunan payung dengan membawa lambang Kotapraja Palangka Raya.
Demonstrasi penerjunan payung ini, dipelopori oleh Wing Pendidikan II Pangkalan Udara Republik Indonesia Margahayu Bandung yang berjumlah 14 (empat belas) orang, dibawah pimpinan Ketua Tim Letnan Udara II M. DAHLAN, mantan paratrop AURI yang terjun di Kalimantan pada tanggal 17 Oktober 1947. Demonstrasi penerjunan payung dilakukan dengan mempergunakan pesawat T-568 Garuda Oil, di bawah pimpinan Kapten Pilot Arifin, Copilot Rusli dengan 4 (empat) awak pesawat, yang diikuti oleh seorang undangan khusus Kapten Udara F.M. Soejoto (juga mantan Paratrop 17 Oktober 1947) yang diikuti oleh 10 orang sukarelawan dari Brigade Bantuan Tempur Jakarta. Selanjutnya, lambang Kotapraja Palangka Raya dibawa dengan parade jalan kaki oleh para penerjun payung ke lapangan upacara. Pada hari itu, dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah Bapak TJILIK RIWUT ditunjuk selaku penguasa Kotapraja Palangka Raya dan oleh Menteri Dalam Negeri diserahkan lambang Kotapraja Palangka Raya.
Pada upacara peresmian Kotapraja Otonom Palangka Raya tanggal 17 Juni 1965 itu, Penguasa Kotapraja Palangka Raya, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah, menyerahkan Anak Kunci Emas (seberat 170 gram) melalui Menteri Dalam Negeri kepada Presiden Republik Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan pembukaan selubung papan nama Kantor Walikota Kepala Daerah Kotapraja Palangka Raya.

http://www.palangkaraya.go.id/sekilas-kota-palangka-raya/sejarah-kota-palangka-raya.html

Rabu, 21 November 2012

pribahasa

Ampit Manak Tingang = Burung Pipit beranakan Tingang (biasanya disebut enggang). Kalau tidak salah, pribahasa ini artinya adalah walaupun orang tuanya miskin dahuluya, telah bekerja keras meyekolahkan anaknya sampai berhasil dan anaknya di kemudian hari sukses dan mengakat derajat keluarga dari yang papa hina menjadi orang terpandang. Semua itu di lakukan dengan kerja keras tidak di dapat secara instan.

Nawan lapas, nekap talimbas = dirangkul/yang sudah di dalam tangan lepas, hendak menangkap kembali namun terlambat. Kalau tidak salah, pribahasa artinya ini artinya bila kita punya kesempatan, janganlah kesempatan itu di sia-siakan apalagi sampai terlepas, lebih baik pegang kuat-kuat dan seriuslah menjalankannya sesuai dengan kekuatan dan keahlian masing-masing, sebab bila sudah terlepas akan sulit kembali untuk mendapatkanya.

Ela Kuman Nanselo Batu = Jangan makan mendahului batu. Kalau tidak salah, artinya adalah sebagai manusia yang paling mud
a adalah wajib menghormati orang yang lebih tua, atau wajib juga kita mensyukuri apa yang telah kita dapat sebelum kita menikmati apa yang telah diberikan kepada kita. Utamakan kepentingan orang lain dahulu bila kepentingan kita masih bisa di tunda. Jaman dulu sampai sekarang salah satu acara sakral yang dilakukan oleh masyarakat dayak setelah memanen padi dan sebelum menikmatinya, terlebih dahulu pasti akan dilaksanakan acara "Pakanan Batu" yaitu upacara ucapan terima kasih kepada batu asah, yang telah menajamkan pisau beliung, pisau langgei, gentu ranen dan segala perkakas untuk berladang ( ini dilakukan oleh masyarakat Kaharingan) dan mereka biasanya tidak akan memakan hasil panennya bila tidak melasanakan acara "pakanan batu" tersebut.

Makang Limbah Lawu = Mencari pegangan setelah jatuh. Kalau tidak salah artinya seperti ini, janganlah kita membuat sebuah pengokoh setelah kita jatuh, sebaiknya sebelum jatuh harus sudah pegangan yang kuat, dan kita harus waspada terhadap hal yang sekecil apapun, contohnya seperti narkoba, dimana-mana selalu ada sosialisasi untuk menjauhi narkoba itu merupakan salah satu pegangan bagi kita bahwa narkoba itu berbahaya, juga Hukum yang menangani hal tersbut merupakan pengokoh bagi kita. jadi jangan sampai terjadi seperti pribahasa 'Makang Limbah Lawu', tetapi sediakan lah pakang ( tempat berpegang kalau naik turun tangga) telebih dahulu agar kita tidak jatuh.(TuaGila)

Sabtu, 03 November 2012

Palangkaraya: Ambisi Soekarno, Sejarah yang terlupakan


…. Jadikanlah Kota Palangka Raya sebagai Modal dan Model…

“ Jangan Membangun Bangunan Di sepanjang Tepi Sungai Kahayan
Dan Lahan di Sepanjang Tepi Sungai tersebut, hendaknya diperuntukkan bagi taman sehingga pada malam yang terlihat hanyalah kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut..”

(Soekarno, 1957)

Menatap Jembatan Kahayan
Menatap Jembatan Kahayan
Setelah membaca tuntas buku karya Wijanarka dalam “Sukarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya”, saya sangat terkesima membayangkan betapa mimpi Ir. Sukarno pasca kemerdekaan RI dalam merancang calon ibu kota negara di kota cantik Palangkaraya ini. Siapa yang bisa membayangkan betapa kota yang sangat sepi, minim fasilitas dan langka energi listrik ini adalah bekas kota ambisi presiden pertama RI sebagai Ibukota Negara. Ini yang sempat terbesit dalam pertanyaan saya mengapa Palangkaraya menjadi ibukota Provinsi, padahal secara geografis umumnya ibukota selalu berada di daerah pesisir. Kondisi ini sangat mungkin karena sebelumnya kota tersebut sudah dirancang sebagai ibukota RI meski akhirnya berakhir sebagai ibukota Provinsi.

Kota Palangkaraya secara geografis terletak pada 6⁰40’ – 7⁰20’ Bujur Timur dan 1⁰31’ – 2⁰30’ Lintang Selatan. Saat ini secara administratif berbatasan dengan Kabupaten Gunung Mas pada sisi utara dan timur, kabupaten Pulang Pisau pada sisi selatan dan Kabupaten Katingan pada sisi barat. Kota Palangkaraya mulai dibangun dengan ditandai adanya pemancangan tiang pertama pembangunan kota oleh Presiden RI pertama pada tanggal 17 Juli 1957.
Sepertinya Palangkaraya dan Kalimantan Tengah memiliki ikatan batin yang kuat dengan Soekarno.  Dalam buku Wijanarka (2006), pada tahun 1957, beliau pernah berkunjung bersama rombongan (40 orang) yang terdiri dari dua orang duta besar, menteri-menteri, dan pegawai istana. Lokasi pemancangan tiang pancang yang saat terletak diseberang gedung DPRD disyahkan oleh presiden pertama kita kala itu. Menurut Tjilik Riwut, pada bagian akhir pidato Gubernur Milono yang memimpin pada saat itu menyatakan dua keistimewaan Palangkaraya:
Pertama: Pada symbol angka 17 dimana Provinsi Kalimantan Tengah merupakan propinsi ke-17, dilahirkan oleh Kabinet Karya, Kabinet ke-17 dan Pahandut kampong ke-17 dari Kuala Kapuas Ibu Kota Kabupaten Kapuas, dan kampong yang ke-17 dari Muara Sungai Kahayan.

Kedua: Lahirlah provinsi Kalimantan Tengah bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Paskah. Karenanya, kata beliau tetap peliharalah kesucian dan kemuliaan tersebut seterusnya dan janganlah nantinya menjadi tempat perebutan pangkat dan kursi.
Sangat tidak mengherankan bagi seorang Sukarno, lulusan insinyur tentu memiliki ambisi tersendiri untuk menjadikan suatu kota dirancang oleh buah pikiran putra bangsa. Setelah melihat Jakarta yang sudah terbentuk dalam desain kolonial, maka beliau mencoba untuk mendesain sendiri ibukota yang ada dalam angan-angannya. Dua tahun (sejak 1957-1959) kota ini dibangun melalui rancangan pikiran Ir. Sukarno, mulai dari bundaran besar, taman kota, tiang pancang, istana, bundaran kecil, dll.
tugu
Tugu Tiang Pancang yang diresmikan oleh Soekarno
Jika kita berjalan-jalan dan mengamati kota Palangkaraya, sangat tampak bahwa kota ini sudah memiliki rencana desain sebelum penduduk bermukim, dilihat dari luas jalan yang lebar, disamping kanan dan kiri jalan terdapat taman dan jalan pedestrian, taman di antara ruas jalan, dan bundaran. Ditambah lagi jumlah penduduk yang tidak padat membuat sangat nyaman berada di kota ini. Hanya sangat disayangkan, menjelang malam kondisi kota menjadi sangat gelap. Cukup ironis, kalimantan mengalami krisis energi di lambung sendiri, sehingga lampu-lampu disepanjang jalan tidak mampu mempercantik kota ini, sayang sekali, keluar dari impian Soekarno saat itu.
Melihat keterkaitan realitas yang terjadi di kota Palangkaraya dengan kaitan sejarah masa lalu, muncul asumsi pribadi saya dalam mengamati kota ini. Pertama, Jika dikaitkan dengan politik, Kalimantan Tengah merupakan basis PDI Perjuangan, yang dipimpin oleh Megawati yang notabene Putri Alm. Ir. Sukarno. Entah analisis saya ini mengada-ada atau memang tepat, sebagai pendatang cukup mengherankan mengapa Provinsi dengan 13 Kabupaten & 1 kotamadya memiliki hampir seluruh bupati (kecuali bupati Pulang Pisau) lahir dari partai PDI. Di kota ini pula terdapat kantor PDI yang begitu megah dan telah diresmikan oleh Ibu Megawati beberapa minggu lalu sebagai kantor terbesar di seluruh Indonesia. Apalagi yang tidak mengherankan selain sebuah ikatan batin yang kuat antara Sukarno dan orang-orang di Kalimantan Tengah. Kedua, Saya merasa sangat terheran dengan kota Palangkaraya, tempat dimana heterogenitas keyakinan berbaur dengan cantik dan orang saling menghormati agama satu dengan lainnya. Mungkin benar bahwa doa RT. Milono tentang kelahiran kota Palangkaraya yang bertepatan dengan hari besar dua agama. Kota ini memiliki gereja dimana-mana, demikian pula Masjid dan Pura, semakin mempercantik heterogenitas. Ketiga, mungkin jiwa mental “pegawai” yang dialami warga kota disini karena sudah ter-setting sejak terbentuknya kota ini (tahun 1957) yang kala itu sudah terbangun perkantoran pemerintahan, sehingga setiap orang yang hendak bermukim di kota ini tentu dalam perkembangannya pasti berniat bekerja di kantor pemerintahan.
Cikal bakal kota Palangkaraya adalah Pahandut, yaitu sebuah kampung yang saat ini menjadi kecamatan. Pahandut berasal dari kata Bapa handut (bahasa dayak ngaju), yang artinya ayah Handut. Bapa Handut adalah salah satu penduduk yang membuka hutan belantara untuk dijadikan tempat tinggal sementara yang bernama Kampung Pahandut. Oleh Bapa Handut, daerah tersebut ditandai dengan Pohon Asam yang ditanamkannya dan kini letaknya disekitar dermaga Rambang. Disebelah barat daya dari pohon asam tersebut terdapat danau Seha. Sekarang kampong Pahandut itu berada pada lingkungan wilayah Jl. Kalimantan, Jl. Sulawesi, Jl. Bangka, Jl. Sumatera, dll dimana terhubung Jln. A. Yani menuju pusat Palangkaraya (Wijanarka, 2006). Daerah tua dari kota Palangkaraya ini memang daerah yang padat penduduknya. Di kanan kiri jalan banyak pertokoan dan jika berjalan menelusuri wilayah jalan-jalan bernama pulau-pulau tersebut, tampak danau Seha yang saat ini menjadi komplek danau seha yang sudah tertutupi oleh pemukiman-pemukiman yang lokasinya seperti mangkok yang menjorok jauh kebawah.
Lahan disepanjang Sungai Kahayan telah dibangun pemukiman yang sangat padat, beberapa hari yang lalu, saat menyaksikan perlombaan perahu hias dalam Festival Isen Mulang, saya mengitasi sungai Kahayan diwilayah Pahandut, tempat dimana pertama kali Palangkaraya lahir. Sayangnya wilayah ini semakin padat dan kumuh sepertinya  bertentangan dengan impian Sukarno untuk tidak  membangun bangunan di sepanjang tepi sungai Kahayan dan menjadikan tempat tersebut sebagai taman sehingga pada malam yang terlihat hanyalah kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut.
Mengapa batal menjadi ibukota NKRI?
Menurut sejarah pembangunan kota Jakarta yang resmi menjadi ibukota pada tahun 1964, masterplan pendahuluan Jakarta dibuat tahun 1956 yang mana masterplan ini diilhami ole ide-ide Sukarno dari hasil keliling dunianya ke India, USA, Kanada, Rusia, Italia, Jerman, Swiss, dan Cina. Akan tetapi, karena struktur kota Jakarta telah terbentuk, ide-ide Sukarno tersebut tidak maksimal dapat diimplementasikan (Wijanarka, 2006).
Pada saat itu, masyarakat (Kalimantan Tengah) menginginkan terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah yang mana pada akhirnya rencana Ibukota Kalimantan Tengah (Palangkaraya) menjadi kesempatan emas bagi Sukarno dalam menuangkan ide-idenya. Berdasarkan pengalamannya keliling dunia dan beberapa kota di Indonesia, pada akhirnya desain Kota Palangkaraya yang diciptakannya dipersiapkan juga untuk ibukota RI (Wijanarka, 2006).
Batalnya Palangkaraya menjadi ibukota RI disebabkan oleh sulitnya pengadaan bahan bangunan dan medan yang masih sangat sulit menuju kota Palangkaraya (saat pembangunan tahun 1957-1959), ditambah lagi tiga aspek (Wijanarka, 2006) yaitu:
  1. Keberadaan sejarah kota Jakarta yang sudah terbentuk komposisinya oleh pemerintah colonial akhirnya memaksa Soekarno untuk meneruskan program-program pembangunan seperti Jakarta by Pass, Jalan Tanjung Priok-Cililitan, Jalan Cawang, Lapangan Terbang Kemayoran, Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, Masjid Istiqlal dan Monumen Nasional.
  1. Desakan para duta besar negara sahabat, Mungkin, saat peletakan tiang pancang Kota Palangkaraya, Sukarno juga mempromosikan calon ibukota RI kepada dua duta besar Negara adidaya Rusia (DA Zukov) dan Amerika (Hugh Cumming Jr) yang pada waktu itu oleh Sukarno diajak ke Palangkaraya. Mungkin pula dengan mengalami beratnya medan perjalanan ke Palangkaraya saat itu, dan mungkin adanya hasil evaluasi Sukarno tahun 1959 yang menunjukkan sulitnya pengadaan bahan bangunan dalam proses pembangunan Kota Palangkaraya, kedua duta besar yang saat itu sangat berpengaruh terhadap dunia mendesak Sukarno untuk memilih Jakarta sebagai Ibukota RI.
  1. Agenda RI tentang even-even internasional. Ambisi sukarno yaitu mempromosikan RI keluar negeri seperti Asian Games (1962), Ganefo dan Konferensi Wartawan Asia Afrika, maka dari itu dibangun Gelora Bung Karno, Bundaran HI, dan gedung DPR/MPR.
Palangkaraya cenderung berada pada letak yang berada di tengah-tengah wilayah RI. Dalam sejarahnya, berawal dari pemancangan tiang pancang untuk pembangunan kota, maka Sukarno sudah  membentuk sumbu kota yang berfungsi sebagai prinsip dasar desain kota. Menurut arah mata angin, dari titik tiang pancang, sumbu ini mengarah ke barat daya dan timur laut. Kearah timur laut, sumbu ini berakhir di Sungai Kahayan, sedangkan kea rah barat daya, sumbu ini berakhir di Jakarta. Adanya konsep ini menunjukkan bahwa Palangkaraya termasuk cosmic city, yaitu kota yang mengintrepetasi kepercayaan dan atau daya alam. Kini sumbu tersebut terkoneksi erat antara Sungai Kahayan- Tiang Pancang – Bangunan istana – Yos Sudarso – Jakarta (Wijanarka, 2006).
Cosmic City: seperti Yogyakarta
Saya melihat cosmic city yang ada pada Palangkaraya sungguh unik seperti filosofi kota Yogyakarta. Meskipun tidak sekuat Kraton, namun Soekarno mendesainnya dengan pertimbangan koneksitas kepercayaan/daya alam. Kraton sebagai pancer terbelah oleh sumbu imajiner yang menghubungkan Laut Kidul, Parangkusumo – Panggung Krapyak – Karaton – Tugu Pal Putih dan Gunung Merapi. Garis imajiner dari Parangkusuma di Laut selatan – Karaton Yogyakarta- Gunung Merapi menekankan hubungan antara manusia yang hidup di dunia dimana seorang manusia harus memahami terlebih dahulu hakekat hidup dan kehidupannya sehingga mampu mencapai kesempurnaan hidup.
Gunung Merapi menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa, diyakini sebagai pusat kerajaan mahluk halus, sebagai “swarga pangrantunan”, sama dikaitkan dengan Palangkaraya dimana Sungai Kahayan menduduki posisi yang penting bagi kebudayaan masyarakat dayak. Pada mitologi Gunung Merapi dalam alur perjalanan hidup yang digambarkan dengan sumbu imajiner dan garis spiritual kelanggengan yang menghubungkan Laut Kidul – Panggung krapyak – Karaton –Yogyakarta Tugu Pal Putih – Gunung Kidul. Simbol ini mempunyai makna tentang proses kehidupan manusia mulai dari lahir sampai menghadap kepada sang Maha Pencipta.
Makna Bundaran besar menurut rancangan Sukarno:
Tidak banyak yang memahami dan menyadari bahwa bundaran besar (nama popular saat ini) yang terletak dipusat kota yang dikelilingi oleh Istana Gubernur (lambang pemerintahan), Gedung Batang Garing (lambang bisnis) maupun Palangkaraya Mall (sarana hiburan rakyat). Menurut Wijanarka, Di depan istana, terdapat jalan silang 8 bundaran dengan jari-jari bundarannya 2×45 meter. Konsep desain silang 8 bundaran ini menyimbolkan bulan dan tahun kemerdekaan RI. Delapan jalan silang tersebut memiliki dua makna yaitu menyimbolkan posisi Palangkaraya pada persimpangan delapan rumpun kepulauan RI (Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Irian Jaya), dan delapan sungai besar di Kalimantan Tengah yaitu Barito, Kapuas, Katingan, Mentaya, Seruyan, Kahayan, Arut dan Lamandau.