Orang Utan dan Burung Katuging
Di sebuah hutan belantara Kalimantan Tengah, seekor Orang Utan asyik melompat-lompat dari satu pohon ke pohon lain. Tanpa disadari, akhirnya ia sampai pada sebuah ladang milik penduduk kampung sekitar tempat itu. Setelah mengamati sejenak, pelahan-lahan ia turun dari pohon dan ketika kakinya menginjak tanah, ia terkejut, karena dilihatnya seekor Burung Katuging1 hinggap dan termenung di bawah sebatang pohon. Burung Katuging itu hinggap diantara kulat atau cendawan yang tumbuh subur pada batang kayu yang telah agak membusuk. Di mata Orang Utan pemandangan yang dilihatnya sangat menarik. Bayangkan seekor Burung Katuging bertengger manis bagaikan seorang puteri diantara hamparan kambang kapuk.2
Orang Utan menghampiri Burung Katuging lalu berkata : “ Banyak benar kulat milik mu “. Disapa demikian, Burung Katuging terkejut, ia tidak menyadari bahwa ia sedang duduk termenung diantara kulat. Lalu Burung Katuging bertanya : “ mana kulatnya ?”. Sambil tersenyum Orang Utan menunjuk kulat yang tumbuh subur disekitar batang pohon tempat Burung Katuging hinggap. Setelah menoleh kekiri dan kekanan, barulah Burung Katuging sadar bahwa ia telah hinggap diantara kulat. Dalam hati Burung Katuging mentertawakan ketololan Orang Utan karena kilat dikatakan kulat. Sepengetahuan Burung Katuging, tumbuhan itu namanya kilat bukan kulat. Lalu berkatalah ia kepada Orang Utan : “ kalau bicara jangan asal celoteh, pakai otakmu, masa iya kilat dikatakan kulat “.Orang Utan tertawa terbahak-bahak menyaksikan ketololan Burung Katuging. Dalam hati ia berkata : “ berani-beraninya bicara mantap dan keras tanpa tahu bahwa apa yang dikatakan salah. Menurut Orang Utan, kilat adalah benda dilangit yang sewaktu-waktu mengeluarkan cahaya. Kulat adalah cendawan. Dengan suara nyaring ia berusaha menyakinkan Burung Katuging bahwa nama tumbuhan itu adalah kulat bukan kilat. Burung Katuging tetap mempertahankan pendapatnya bahwa yang benar adalah apa yang dikatakannya. Perdebatan mulut itu sampai dunia kiamat tak akan pernah berakhir, perlu dewan pakar yang memutuskan kebenarannya. Akhirnya keduanya sepakat mencari jalan keluar dengan menemui para sesepuh. Sebelum berangkat mereka memutuskan bahwa siapa kalah harus dibunuh.
Pertaruhan hidup atau mati yang mereka sepakati, menunjukan sikap mamut menteng atau gagah perkasa, konsekwen, berani tanggung resiko atas segala perbuatan atau keputusan yang telah mereka yakini benar. Mereka tak kenal lempar batu sembunyi tangan, yang artinya berani berbuat atau berjanji, namun tidak berani bertanggung jawab. Merekapun tak kenal istilah cuci tangan yang artinya demi keselamatan dirinya sendiri, lalu menghindar dari masalah yang sedang dihadapi. Keluguan mereka menunjukan ketulusan dan kemurnian hati mereka.
Orang Utan dan Burung Katuging berjalan menuju ke rumah sesepuh hutan. Kebetulan pada saat itu seekor anjinglah yang sedang menjabat sebagai sesepuh para binatang di hutan. Kepada anjing belang yang matanya agak kemerah-merahan mereka menjelaskan maksud kedatangan mereka. Setelah semua keterangan diberikan, anjing memahami duduk perkaranya. Ia lalu mengundang para sesepuh binatang lainnya untuk turut serta mengadili perkara “ kilat – kulat “.
Setelah para sesepuh berkumpul pada sebuah lapangan, maka sidang dimulai. Duduk perkara dijelaskan langsung oleh yang bersengketa, dalam hal ini Burung Katuging dan Orang Utan. Setelah para sesepuh memahami duduk perkara, Orang Utan dan Burung Katuging diminta meninggalkan tempat karena para sesepuh akan berunding. Dipesankan pula kepada Burung Katuging dan Orang Utan agar pergi tidak terlalu jauh karena setelah keputusan diperoleh, keduanya segera akan dipanggil kembali untuk menghadap. Setelah Burung Katuging dan Orang Utan meninggalkan tempat, mulailah para sesepuh berunding.
Semua sepakat bahwa yang benar adalah apa yang dikatakan Orang Utan. Kilat adalah benda di langit yang sewaktu-waktu bisa bercahaya, sedangkan kulat adalah cendawan. Sesepuh macan dahan 3yang biasanya selalu berbeda pendapat dalam pengadilan, kali ini dengan suaranya yang sedikit parau karena telah dimakan usia, dengan tegas menyetujui bahwa Orang Utan yang benar. Namun entah siapa yang mengawali, pikiran jahat muncul di hati para sesepuh. Anehnya tanpa menerima uang sorok atau uang sogokan, semua menyetujui keputusan yang diputar balikkan. Alasannya sangat tidak masuk akal, yaitu apabila Burung Katuging kalah, dagingnya tidak enak dimakan, tetapi kalau Orang Utan yang kalah, selesai persidangan mereka bisa berpesta pora menikmati daging Orang Utan. Daging Orang Utan terkenal kelezatannya.
Sangat disesalkan, para sesepuh yang seharusnya menjadi panutan justru berbuat cela. Kebenaran telah dikalahkan oleh keserakahan, terbukti Orang Utan yang seharusnya memenangkan perkara justru dipersalahkan demi kesenangan sesaat, hanya demi pesta pora menikmati daging Orang Utan. Setelah sepakat merubah hasil putusan awal yang mengandung kebenaran lalu, Orang Utan dan Burung Katuging dipanggil kembali untuk menghadap di persidangan.
Anjing yang berperan sebagai hakim ketua mengumumkan keputusan pengadilan. Orang Utan dinyatakan kalah. Apa yang telah ia ucapkan ngawur belaka. Begitu putusan sidang diumumkan Burung Katuging dipersilahkan segera meninggalkan sidang dan Orang Utan menerima hukuman mati. Keduanya dengan mamut menteng atau gagah perkasa menerima keputusan pengadilan tanpa menyadari bahwa ketidak beresan telah terjadi dipersidangan. Setelah Burung Katuging meninggalkan sidang, Orang Utan dengan gagah perkasa menyerahkan diri untuk dibunuh bahkan sebagai upah munduk dalam pengadilan, 4dengan ihklas ia menyerahkan dirinya untuk disantap beramai-ramai oleh para hakim yang ia segani.
Sebagai ketua sidang, anjing berhak membunuh Orang Utan. Ketika Orang Utan dibunuh, ia tidak meronta hanya sejenak teringat akan anak dan isterinya yang membuatnya terharu bahkan meneteskan air mata. Hanya dengan sekali terkam, anjing dengan mudahnya membunuh Orang Utan. Kemudian daging Orang Utan dibagikan kepada para hakim yang terlibat dalam memutuskan perkara. Kepala Orang Utan diserahkan kepada anjing karena memang anjinglah yang berhak mengingat ia adalah pemimpin sidang. Kemudian semua pulang kerumah masing-masing dengan ceria sambil membawa daging Orang Utan untuk disantap di rumah masing-masing bersama keluarga.
Sesampai di rumah, anjing memanggil isterinya dan meminta agar merebus dan memasak kepala Orang Utan yang dibawanya. Tanpa bertanya, isteri anjing langsung merebus kepala Orang Utan dalam seruas bambu di dapur. Ketika mendidih terdengar suara : “ Ije sala imbujur, ije bujur inyala “, yang artinya “ Yang salah dibenarkan, yang benar disalahkan “. Suara itu terdengar berulang-ulang diantara suara air mendidih. Suara rintihan yang berulang-ulang itu membuat isteri anjing merinding ketakutan lalu bergegas memanggil suaminya. Ketika anjing yang adalah pimpinan sidang disiang hari tadi datang ke dapur, suara itu terdengar semakin keras, bukan lagi suara rintihan namun menjerit sekeras mungkin. Anjing tersentak, ia tahu apa arti semua ini. Dengan konsekwen dan gagah perkasa didekatinya ruas bambu yang masih terpanggang di atas api tempat merebus kepala Orang Utan. Pelan-pelan diintipnya isi ruas bambu, pada saat yang sama kepala Orang Utan yang mendidih dalam ruas bambu pecah dan otaknya berhamburan tepat mengenai mata anjing. Anjing meronta kesakitan dan berguling-guling dilantai.
Dalam kesakitannya ia menyadari bahwa apa yang ia alami saat itu merupakan hukuman baginya karena ia telah berlaku tidak adil. Sejak saat itu, anjing menjadi buta hingga akhir hayatnya.
Catatan kaki
1 Disebut burung katuging karena bila mengeluarkan suara berbunyi katuging . . katuging
2 Kambang kapuk bahan pembuat kasur alat tidur manusia agar manusia dapat tidur lelap karena empuk dan nyaman.
3 Jenis binatang buas
4 Upah duduk dalam perkara artinya hak yang diperoleh setelah perkara diputuskan
Sumber data : Dongeng anak suku Dayak Kalimantan Tengah.
• Dikisahkan kembali oleh Nila Riwut.
• Pernah di muat di Kalteng Pos
sumber dari web (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1531511)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar